Laman

Selasa, 24 Mei 2011

Sesajen Bali

Sesajen

Para penghuni Bali yang tidak tampak dewa, roh para leluhur, dan roh-roh jahat  diperlakukan oleh penduduk Bali sebagai tamu kehormatan dengan persembahan sesajen (banten) dalam berbagai bentuk, warna dan isi.
Pemberian ini adalah pemberian terbaik  sebagai pernyataan terima kasih kepada para dewa, dan membujuk roh-roh jahat agar tidak mengganggu keharmonisan kehidupan. Sesajen sederhana dipersembahkan setiap hari, sedangkan sesajen istimewa dipersiapkan untuk acara-acara keagamaaan tertentu. Sebagai contoh, setelah makanan harian dipersiapkan, sedikit bagian dari makanan tersebut disisihkan untuk para dewa penghuni rumah sebelum keluarga mengkonsumsi makanan tersebut. Selain itu, para dewa juga disajikan canang kecil tray daun kelapa yang diisi berbagai jenis bunga dan sirih sebagai simbol keramah-tamahan. Sebagai persembahan yang diberikan untuk roh yang lebih tinggi, banten ini harus diatur sedemikian rupa agar menarik, dan tentunya hal ini membutuhkan pengorbanan waktu dan tenaga yang cukup besar. Daun-daun dipotong dan dirangkai sedemikian rupa menjadi bentuk-bentuk yang menarik (jejaitan). Berbagai jajan dibentuk menjadi lempengan tipis dan bahkan menjadi bahan dominan banten yang memiliki arti simbolis yang kuat selain fungsi dekoratifnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa persiapan banten merupakan bagian dari bentuk seni tradisi yang penting yang masih berlaku di Bali.

BAHANBAHAN SESAJEN DAN PERSIAPAN PEMBUATAN
Meskipun hanya sedikit materi tahan lama yang dipergunakan, seperti uang logam, kain dan masker kayu tertentu, banten biasanya dibuat dari bahan-bahan yang mudah rusah, materi organic. Bukan hanya bahannya, tetapi fungsi dari objek-objek ini bersifat sementara. Setelah dipersembahkan kepada dewa, sebuah banten/sesajen tidak dapat digunakan lagi dan banten/sesajen yang serupa harus dipersiapkan setiap hari. Persiapan banten merupakan salah satu tugas yang dilakukan oleh kaum wanita Bali. Dalam rumah tanggan, kaum wanita dari beberapa generasi bekerja bersama, dan dengan cara ini, ketrampilan mereka diwariskan turun temurun ke generasi muda. Dalam hal-hal tertentu, kaum pria juga memberikan konntribusi, karena penyembelihan hewan dan persiapan sebagian besar banten dengan daging binatang merupakan tugas kaum pria. Bahkan banyak wanita Bali yang hidup dengan penghasilan yang diperoleh sebagai tukang banten. Tugas utama mereka adalah mengarahkan masyarakat dalam jumlah besar yang secara bersama-sama mempersiapkan banten untuk acara-acara besar di rumah atau di pura. Mereka mampu mengkoordinasi pekerjaan ini karena mereka tahu jenis dan bahan-bahan yang diperlukan untuk sesajen untuk acara yang berbeda-beda. Dengan semakin banyaknya kaum wanita Bali yang bekerja diluar rumah, di kantor-kantor atau hotel, waktu merekapun semakin berkurang untuk persiapan sesajian mereka sendiri. Kondisi inilah yang memacu tingginya permintaan sesajen yang siap dipersembahkan yang dihasilkan oleh tukang-tukang banten (orang yang ahli dalam buat sesajen) dirumah mereka dengan bantuan wanita-wanita lain yang mereka pekerjakan. Meskipun terdapat unsur komersil dalam persiapan banten, hal ini tidak mengurangi arti dan fungsi upacara bantenan di Bali.

SESAJEN UPACARA
Untuk setiap upacara yang dilakukan, diperlukan sesajen yang beraneka ragam dan dalam jumlah besar. Terdapat ratusan jenis sesajen nama, bentuk, ukuran dan bahan yang digunakan begitu beraneka ragam. Selain itu, terdapat juga perbedaan antara sesajen yang dipersembahkan oleh satu daerah dan daerah lain, dan bahkan dari satu desa ke desa lain. Tetapi bentuk dasar dari sesajen itu sendiri tidak jauh berbeda. Nasi, buah-buahan, kue, daging dan sayuran ditata sedemikian rupa dalam wadah yang dialas dengan daun kelapa dan dihiasi dengan dekorasi dari daun kelapa, yang disebut sampian, yang juga berfungsi sebagai wadah tempat sirih dan kembang. Bantenan tertentu digunakan pada banyak upacara umum, sementara bantenan khusus digunakan untuk upacara-upacara khusus. Tatanan sesajen dasar membentuk kelompok-kelompok (soroh) mengelilingi bantenan inti, dan karena upacara dapat dilakukan dengan tingkat elaborasi yang berbeda-beda, tergantung tujuan upacara tersebut, arti dan status sosial dari para pesertanya, maka ukuran dan isi dari kelompok-kelompok sesajen ini juga berbeda berdasarkan elaborasi dari upacara tersebut. Ukuran sesajen dapat diperbesar atau diperkecil agar sesuai dengan situasi upacara. Misalnya, bantenan pula gembal biasa berisi, antara lain, berlusin-lusin adonan beras yang disajikan dalam wadah daun kelapa. Pada upacara yang lebih tinggi, sesajen ini dibuat menjadi tatanan menara kue berwarna-warni dalam bentuk yang spektakuler, yang tingginya dapat mencapai beberapa meter. Selain sesajen masal yang dikaitkan dengan upacara tertentu, setiap keluarga membawa sesajen mereka sendiri dalam ukuran besar dan berwarna-warni pada festival pura. Barisan dan kelompok wanita yang beramai-ramai membawa sesajen mereka menuju pura menghasilkan satu pemandangan yang spektakuler. Di Pura, sesajen ini diletakkan ditempat yang sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Sesajen untuk para dewa dan roh para leluhur diletakkan di altar yang tinggi, sedangkan sesajen untuk roh-roh jahat diletakkan dibagian dasar. Perbedaan yang penting disini adalah sesajen yang diberikan untuk para roh jahat dapat berisi daging mentah, sementara sesajen untuk para dewa dan roh para leluhur bisa tidak berisi daging mentah. Sesajen khusus yang menjadi persyaratan suatu upacara diletakkan pada sebuah pavilion atau podium temporer. Pada saat upacara dilakukan, seorang pendeta akan menyucikan sesajen yang ada dengan memercikkan air suci dan membacakan doa atau mantra. Asap dupa mengantar inti persembahan tersebut ke tujuannya masing-masing. Persembahan sesajen harian dirumah juga dilakukan dengan cara yang sama, yaitu dengan menggunakan air suci dan api. Setelah upacara selesai, dan dari sesajen ini telah terbakar, sesajen ini dapat dibawa pulang kerumah dan dikonsumsi oleh mereka yang melakukan penyembahan.

SIMBOLISME
Elemen-elemen yang memungkinkan terjadinya kehidupan didunia ditransformasikan dalam bentuk bantenan dimana dengan demikian elemen-elemen tersebut dikembalikan sebagai persembahan kepada Pencipta asalnya. Tetapi sebuah sesajen tidak hanya terdiri dari berbagai jenis buah di bumi, tetapi juga refleksi dari struktur intinya  motif-motif yang dekoratif seringkali merupakan symbol dari berbagai unsur dan elemen alam Bali. Warna dan jumlah bunga dan bahan-bahan lain, misalnya, mengacu pada para dewa yang menjaga arah mata angin. Sirih yang diletakkan diatas setiap sesajen merupakan symbol Triniti Hindu, begitu juga tiga warna dasar yang digunakan warna merah merupakan symbol Brahma, hitam untuk Wisnu, dan warna putih untuk Siwa. Bentuk kerucut, baik dari sesajen itu secara keseluruhan atau bentuk nasi yang dimasukkan dalam sesajen tersebut, merupakan model dari gunung yang garis dasarnya terhubung dengan alam dunia bawah tanah, dunia bagian tengah dan dunia bagian atas  simbol dari keseluruhan ruang dan sumber kehidupan di bumi. Kue-kue yang terbuat dari adonan beras merupakan simbol dari isi bumi; tumbuhan, hewan, manusia, bangunan atau bahkan pemandangan dari sebuah pasar atau kebun kecil. Pasangan dari kue-kue tersebut, seperti misalnya matahari dan bulan, gunung dan lautan, bumi dan langit, merupakan simbol tatanan ganda universal dimana elemen-elemen yang saling mengisi tidak dapat berdiri sendiri. Penyatuan pria dan wanita, yang dibutuhkan untuk kelanjutan kehidupan, dalam banyak cara, dinyatakan dalam komposisi isi sesajenan. Penciptakan kembali jagat raya melalui seni dan media sesajenan, diharapkan menjadi jaminan kelanjutan kehidupan di bumi.
 
Sumber : Baliinfocentre.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar